Sejarah Ejaan di Indonesia
A. Pengertian Ejaan
A. Pengertian Ejaan
Ejaan adalah aturan tulis menulis. Secara lengkap dapat dikatakan bahwa ejaan adalah
keseluruhan peraturan tentang bagaimana melambangkan bunyi-bunyi ujaran
dan bagaimana hubungan antarlambang tersebut (pemisahan dan
penggabungan dalam suatu bahasa). Secara teknis ejaan adalah aturan
tulis-menulis dalam suatu bahasa yang berhubungan dengan penulisan
huruf, pemakaian huruf, penulisan kata, penulisan unsur serapan, dan
pemakaian tanda baca.
Masalah
ejaan adalah masalah tulis-menulis dalam bahasa Indonesia. Dalam usaha
memodernkan bahasa Indonesia, cara menulis atau aturan tulis-menulis
dalam bahasa Indonesia sangat perlu diutamakan karena tulisan merupakan
tempat pencurahan konsep pikir para penulis itu sendiri. Dalam hubungan
itu, suatu komunikasi yang dilakukan dengan tulis-menulis (dalam arti
komunikasi jarak jauh dengan surat, umpamanya) harus menerapkan ejaan.
Oleh sebab itu, materi ejaan akan dipakai oleh semua sasaran pembina
bahasa Indonesia. Bagi masyarakat umum, masalah ejaan barangkali saja
masih berkutat pada masalah keniraksaraan sehingga masyarakat tersebut
harus dibina dalam hal pengenalan aksara latin.
B. Sejarah Perkembangan Ejaan di Indonesia
Bahasa
Indonesia yang awalnya berakar dari bahasa Melayu sudah memiliki aksara
sejak beratus tahun yang lalu, yaitu aksara Arab Melayu. Di Nusantara
ini, bukan saja aksara Arab Melayu yang kita kenal. Kita juga mengenal
aksara Jawa, aksara Sunda, aksara Bugis, aksara Bali, aksara Lampung,
aksara Kerinci, aksara Rejang, dan aksara Batak. Aksara itu
masing-masing memiliki nama, seperti aksara Kaganga dan aksara Rencong
(incung).
Ejaan yang diresmikan
1. Ejaan Van Ophuijsen
Aksara
Arab Melayu dipakai secara umum di daerah Melayu dan daerah-daerah
yang telah menggunakan bahasa Melayu. Akan tetapi, karena terjadi kontak
budaya dengan dunia Barat, sebagai akibat dari kedatangan orang Barat
dalam menjajah di Tanah Melayu itu, di sekolah-sekolah Melayu telah
digunakan aksara latin secara tidak terpimpin. Oeh sebab itu, pada tahun
1900, menurut C.A. Mees (1956:30), Van Ophuijsen, seorang ahli bahasa
dari Belanda mendapat perintah untuk merancang suatu ejaan yang dapai
dipakai dalam bahasa Melayu, terutama untuk kepentingan pengajaran. Jika
penyususnan ejaan itu tidak cepat-cepat dilakukan, dikhawatirkan bahwa
sekolah-sekolah tersebut akan menyusun dengan cara yang tidak terpimpin
sehingga akan muncul kekacauan dalam ejaan tersebut.
Dalam
menyusun ejaan tersebut, Van Ophuijsen dibantu oleh dua orang pakar
bahasa dari Melayu, yaitu Engkoe Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad
Thaib Soetan Ibrahim. Dengan menggabungkan dasar-dasar ejaan Latin dan
Ejaan Belanda, Van Ophuijsen dan teman-teman berhasil membuat ejaan
bahasa Melayu, yang ejaan tersebut lazim disebut sebagai “Ejaan Van
Ophuijsen”. Ejaan tersebut diresmikan pemakaiannya pada tahun 1901.
Ejaan van Ophuijsen dipakai selama 46 tahun, lebih lama dari Ejaan
Republik, dan baru diganti setelah dua tahun Indonesia merdeka. Huruf-huruf yang mendukunng Ejaan Van Ophuijsen adalah sebagai berikut:
Bunyi vokal
|
A
|
ẻ
|
E
|
i
|
o
|
u
|
Bunyi diftong
|
ai
|
Au
|
Oi
|
oe
| ||
Bunyi konsonan
|
B
|
P
|
M
|
g
|
k
|
ng
|
D
|
T
|
N
|
dj
|
tj
|
nj
| |
R
|
S
|
L
|
j
|
h
|
w
| |
Bunyi hamzah
|
‘
| |||||
Bunyi ain
|
‘
| |||||
Bunyi trema
Bunyi asing
|
..
ch
|
Sj
|
Z
|
Dengan
adanya ejaan tersebut, kita akan mendapatkan penulisan kata dalam
bahasa Melayu sebagai berikut: ajam, elang, ekor, itik, orang, oelar,
petai, kerbau, amboi, kapal, galah, tjerah, djala, tikar, darah, pasar,
hilah, rasa, lipat, warna, soedah, habis, singa, njanji, mana, tida’,
akal, mulai. Pemakaian angka dua menyakan perulangan tidak dibenarkan.
Pengulangan penyabutan sebuah kata harus dilakukan dengan menulis secra
lengkap kata tersebut.
Ejaan
Van Ophuijsen belum dikatakan berhasil karena ia dan teman-temannya
mendapat kesulitan memelayukan tulisan beberapa kata yang diambil dari
bahasa Arab, yang mempunyai warna bunyi bahasa yang khas. Oleh sebab
itu, dia memilih bunyi ch, sj, z, f,
secara tidak taat asas karena sudah pula banyak bahasa Arab yang
dimelayukan sehingga empat huruf itu tidak terpakai dengan baik.
Kemudian, muncul persoalan warna bunyi dari Arab yang disebut hamza dan ain,
yang dilambangkannya masing-masing dengan tanda apostrof (‘).
Kesukaran-kesukaran itu selalu diperbaiki dan disempurnakan oleh Van
Ophuijsen. Ejaan tersebut secara lengkap termuat dalam buku yang
berjudul Kitab Logat Melajoe. Pada tahun 1926, sistem ejaan mendapat bentuk yang tetap.
2. Ejaan Republik (Ejaan Soewandi)
Beberapa
tahun sebelum Indonesia merdeka yakni pada masa pendudukan Jepang,
pemerintah sudah mulai memikirkan keadaan ejaan kita yang sangat tidak
mampu mengikuti perkembangan ejaan internasional. Oleh sebab itu,
Pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan melakukan
pengubahan ejaan untuk menyempurnakan ejaan yang dirasakan sudah tidak
sesuai lagi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh sebab
itu, pada tahun 1947 muncullah sebuah ejaan yang baru sebagai pengganti
ejaan Van Ophuijsen. Ejaan tersebut diresmikan oleh Menteri Pendidikan
Pengajaran dan Kebudayaan Republik Indonesia, Dr. Soewandi, pada tanggal
19 Maret 1947 yang disebut sebagai Ejaan Republik. Karena Menteri
Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan adalah Dr. Soewandi, ejaan yang
diresmikan itu disebut juga sebagai Ejaan Soewandi. Hal-hal yang
menonjol dalam Ejaan Soewandi atau Ejaan Republik itu adalah sebagai
berikut :
Ø Huruf /oe/ diganti dengan /u/, seperti dalam kata berikut
· goeroe menjdi guru
· itoe menjadi itu
· oemoer menjdi umur
Ø Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan /k/, seperti dalam kata berikut
· tida’ menjadi tidak
· Pa’ menjadi Pak
· ma’lum menjadi maklum
· ra’yat menjadi rakyat
Ø Angka dua boleh dipakai untuk menyatakan pengulangan, seperti kata berikut
· beramai-ramai menjadi be-ramai2
· anak-anak menjadi anak2
· berlari-larian menjadi ber-lari-2an
· berjalan-jalan menjadi ber-jalan2
Ø Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, seperti berikut :
diluar (kata depan), dikebun (kata depan), ditulis (awalan), diantara (kata depan), disimpan (awalan), dipimpin (awalan), dimuka (kata depan), ditimpa (awalan), disini (kata depan).
Ø Tanda trema tidak dipakai lagi sehingga tidak ada perbedaan antar suku kata diftong, seperti kata berikut
· Didjoempaϊ menjadi didjumpai
· Dihargaϊ menjadi dihargai
· Moelaϊ menjadi mulai
Ø Tanda aksen pada huruf e tidak dipakai lagi, seperti pada kata berikut
· ẻkor menjadi ekor
· hẻran mejadi heran
· mẻrah menjadi merah
· berbẻda menjadi berbeda
Ø Di hadapan tj dan dj, bunyi sengau ny dituliskan sebagai n untuk mengindahkan cara tulis
· Menjtjuri menjdi mentjuri
· Menjdjual menjadi mendjual
Ø Ketika memotong kata-kata di ujung baris, awalan dan akhiran dianggap sebagai suku-suku kata yang terpisah
· be-rangkat menjadi ber-angkat
· atu-ran menjadi atur-an
Ø Huruf-huruf q, x, dan y tidak diatur pemakainnya dalam ejaan. Huruf c hanya dipakai dalam hubungannya dengan huruf ch.
3. Ejaan Yang Disempurnakan
Pada tanggal 16 Agustus 1972, Ptresiden Republik Indonesia (Bapak Soeharto) meresmikan pemakaian Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan
yang lazim disingkat dengan EYD. Peresmian ejaan tersebut berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1972. Dengan dasar itu, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan menyebarkan buku kecil yang berjudul Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan
yang memuat berbagai patokan pemakaian ejaan yang baru. Buku yang
beredar yang memuat kaidah-kaidah ejaan tersebut direvisi dan dilengkapi
oleh suatu badan yang berada di bawah Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, yang diketuai oleh Prof. Dr. Amran Halim dengan dasar surat
keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 12 Oktober 1972,
Nomor 156/P/1972. Hasil kerja komisi tersebut adalah berupa sebuah buku
yang berjudul Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan
yang diberlakukan dengan surat keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 0196/1975. Bersama buku tersebut, lahir pula sebuah
buku yang berfungsi sebagai pendukung buku yang pertama, yaitu buku Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Badan itu bernama Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa yang sekarang bernama Pusat Bahasa.
Beberapa hal yang perlu dikemukakan sehubungan dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan itu adalah sebagai berikut :
Ø Huruf yang berubah fungsi adalah sebagai berikut
a. /dj/ djalan menjadi /j/ jalan
b. /j/ pajung menjadi /y/ payung
c. /nj/ njanji menjadi /ny/ nyanyi
d. /sj/ isjarat menjadi /sy/ isyarat
e. /tj/ tjukup menjadi /c/ cukup
f. /ch/ achir menjdi /kh/ akhir
Ø Peresmian penggunaan huruh berikut yang sebelumnya belum resmi adalah :
a. pemakaian huruf /f/ dalam kata maaf, fakir
b. pemakaian huruf /v/ dalam kata universitas, valuta
c. pemakaian huruf /z/ dalam kata lezat, zeni
Ø Huruf yang hanya dipakai dalam ilmu eksakta, adalah sebagai berikut
a. pemakaian huruf /q/ dalam rumus a:b = p:q
b. pemakaian huruf /x/ dalam istilah Sinar-X
Ø Penulisan di- sebagai awalan dan penulisan di sebagai kata depan dilakukan seperti berikut :
a. penulisan awalan di- diserangkaiakan dengan kata yang mengikutinya, seperti dimakan, dijumpai
b. penulisan kata depan di dipisahkan dengan kata yang emngikutinya, seperti di muka, di pojok, di antara.
Dalam Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan itu terdapat pembicaraan yang lengkap, yaitu
1. pembicaraan tentang nama dan penulisan huruf
2. pembicaraan tentang pemakaian huruf
3. pembicaraan tentang penulisan kata
4. pembicaraan tentang penulisan unsur serapan
5. pembicaraan tentang pemakaian tanda baca.
Dengan
lahirnya Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan itu kini kita dapat
merasakan bahwa ejaan bahasa kita sudah tidak perlu diubah lagi. Jika
ada hal-hal yang perlu dimasukkan ke dalam ejaan yang selama ini tidak
diatur dalam ejaan tersebut, cukup ejaan itu direvisi dalam edisi berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar